Silikon terdapat banyak di bumi. Ia merupakan unsur
kedua terbanyak di kulit bumi setelah oksigen. Terdapat di alam dalam
bentuk pasir silika atau yang dikenal juga degan quartz dengan rumus
kimia SiO2. Tanah dimana kita pijak pun mengandung silikon. Sebagai contoh, di Indonesia penamnangan pasir silika ini dilakukan di
Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah. Di pesisir pantai selatan Jawa juga
diyakini memiliki kandungan pasir silika. Silikon yang dipakai untuk
keperluan semikonduktor dan sel surya diambil dari hasil pemisahan Si
dan O. Saat ini, penghasil silikon terbesar di dunia ialah Cina,
Amerika, Brazil, Norwegia dan Prancis. Cadangan sumber daya silika dan
ketersediaan tenaga listrik yang cukup besar menjadi alasan mengapa
negara-negara di atas memimpin dalam menghasilkan silikon.
Butuh listrik besar.
Tahap pertama pembuatan silikon dimulai dengan jalan memisahkan silikon dari SiO2. Pemisahan ini dilakukan di dalam sebuah tanur (furnace) yang disuplai dengan listrik berkekuatan tinggi. Skema tanur untuk pemisahan silikon dapat dilihat di bawah ini.
Gambar 1. Skema pemisahan/pembuatan silikon dari pasir silika.
Pasir silika dan karbon (C) secara bersamaan (gambar paling kiri)
dimasukkan ke dalam tanur yang dilengkapi dengan elektroda tempat arus
listrik mengalir masuk (gambar tengah). Silikon dipisahkan dengan jalan
mereaksikan pasir silika dengan karbon pada suhu tinggi, yakni di atas
1900 hingga 2100 derajat celcius. Hal ini mengingat baik pasir maupun
karbon merupakan dua zat padat yang mana reaksi akan berlangsung hanya
pada saat mereka melebur/mencair/meleleh, ditambah lagi dengan titik
leleh pasir silika yang di atas 1800 derajat Celcius. (Reaksi kimia
tidak disertakan).
Tingginya suhu proses pemisahan silikon dari pasir silika membawa
konsekuensi tingginya konsumsi listrik yang mutlak digunakan. Mengapa
musti dengan listrik dan bukan dengan pembakaran? Pembakaran manapun
tidak akan mampu mencapai suhu proses yang diperlukan untuk mereaksikan
pasir silika dengan karbon, sehingga hanya dengan jalan mengalirkan aurs
listrik besar-lah suhu proses ideal mampu dicapai.
Tercatat sekitar 10 hingga 30 MW (MegaWatt) listrik dibutuhkan dalam
proses ini tergantung dari seberapa besar tanur yang dipakai. Tidak
heran jika hanya negara-negara yang memiliki sumber daya listrik
melimpah dan bersumber dari PLTN atau lainnya-lah yang dapat secara
ekonomis memisahkan silikon dari pasir silika karena tenaga listrik yang
dibutuhkan dalam proses ini sangatlah besar; sekitar sepersepuluh
listrik yang dihasilkan oleh PLTU Muara Karang (300 MW) habis hanya
untuk proses ini.
Gambar 2. PLTU Muara Karang. Sepersepuluh dari kapasitasnya yang 300 MW
itu dibutuhkan untuk memisahkan silikon dari pasir silika.
Silikon yang dihasilkan dari pemisahan Si dan O
pada pasir silika perlu dimurnikan kembali untuk mencapai kadar
kemurnian silikon di atas 99%. Ada dua tahapan untuk memurnikan silikon
hasil pemisahan pasir silika. Tahap pertama, silikon hasil pemisahan
masih memiliki „pengotor“ berupa besi (Fe), aluminium (Al), kalsium (Ca)
titanium (Ti) dan karbon (C) yang harus dikeluarkan. Tahapan
ini dilakukan pada proses pemurnian persis setelah leburan silikon
keluar dari tanur (Gambar kiri tengah). Proses ini melibatkan gas
oksidatif yang dilakukan pada suhu 1700 derajat Celcius. Listrik berdaya
besar masih diperlukan di tahap ini. Sampai tahapan ini, silikon yang
dihasilkan disebut dengan metallurgical grade silicon dengan kadar pengotor dalam satuan bagian per sejuta (ppm, parts per million) yang sejatinya sudah cukup untuk dipergunakan untuk banyak keperluan.
Tahapan berikutnya, ialah persiapan
dan pemurnian silikon untuk bahan dasar sel surya maupun semikonduktor
atau yang disebut dengan semiconductor grade silicon. Tahap ini
dilakukan di tempat lain yang terpisah dari proses pemisahan silikon.
Untuk diketahui, silikon untuk keperluan semikonduktor membutuhkan kadar
kemurnian yang sangat sangat tinggi yang berbeda dari metallurgical grade silicon.
Di dunia semikonduktor, dikenal dengan „eleven-nine“ atau 11 angka 9
yang menyatakan kadar kemurnian silikon dalam persen; 99,999999999%. Silikon untuk keperluan semikonduktor harus memiliki unsur pengotor dalam satuan bagian per semilyar (ppb, parts per billion) atau bagian per setrilyun (ppt, parts per trillion).
Sederhana saja, jika kadar kemurnian silikon di bawah nilai nominal
tersebut, dapat dijamin bahwa sebuah prosesor atau memori komputer atau
sel surya tidak dapat berjalan dengan baik.
Pemurnian silikon untuk keperluan sel surya maupun semikonduktor lain
dilakukan dalam bentuk gas melalui proses yang disebut dengan proses
Siemens. Silikon dari tahap pemurnian pertama (metallurgical grade silicon)
direaksikan dengan gas asam klorida (HCl) untuk membuat gas silikon
klorida. Proses reaksi ini dilakukan pada suhu 350 derajat Celcius.
Silikon klorida kemudian dimasukkan ke dalam reaktor Siemens (gambar
di bawah) bersama-sama dengan gas hydrogen. Di dalam reaktor Siemens
terdapat batangan umpan silikon (silicon feed rod) berbentuk U
terbalik yang dipanaskan pada suhu 1100 derajat Celcius dan pendingin.
Silikon klorida mengalami reaksi dekomposisi atau reaksi penguraian
menjadi silikon pada permukaan batangan umpan silikon, dan silikon hasil
penguraian ini menempel dan terendap di batangan tersebut. Semakin lama
proses, semakin banyak silikon yang mengendap yang kemudian membesar
menjadi silikon dengan kadar kemurnian 11 angka 9 di atas (reaksi kimia
tidak disertakan).
Gambar 3. Skema diagram proses dan reaktor Siemens untuk memurnikan silikon.
Sampai di sini, silikon sudah memiliki kemurnian yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan sel surya.
Silikon untuk sel surya
Sel surya dibuat dari silikon yang
berbentuk bujur sangkar pipih dengan ukuran 5 x 5 cm atau 10 x 10 cm
persegi. Ketebalan silikon ini sekitar 2 mm. Lempengan bujur sangkar
pipih ini disebut dengan wafer silikon untuk sel surya. Bentuk wafer
silikon sel surya berbeda dengan wafer silikon untuk semikonduktor lain
(chip, prosesor komputer, RAM memori) yang berbentuk bundar pipih meski
memiliki ketebalan yang sama (lihat gambar bawah).
Gambar 4. Wafer silikon untuk keperluan elektronika (bundar pipih) dan sel surya (persegi berwarna biru).
Wafer silikon ini dibuat melalui proses pembuatan wafer
silikon dengan memanfaatkan silikon berkadar kemurnian tinggi sebelumnya
(semiconductor grade silicon). Secara ringkas, penulis paparkan beberapa cara membuat wafer silikon untuk keperluan sel surya.
1. Wafer silikon jenis monokristal.
Mono kristal di sini berarti
silikon tersebut tersusun atas satu kristal saja. Sedangkan jenis lain
ialah wafer silikon polikristal yang terdiri atas banyak krstal. Wafer
silikon monokristal dibuat melalui proses Czochralski (Cz) yang
merupakan jantung dari proses pembuatan wafer silikon untuk
semikonduktor pula. Prosesnya melibatkan peleburan silikon semiconductor grade,
diikuti dengan pemasukan batang umpan silikon ke dalam leburan silikon.
Ketika batang umpan ini ditarik perlahan dari leburan silikon, maka
secara otomatis silikon dari leburan akan mennempel di batang umpan dan
membeku sebagai satu kristal besar silikon. Suhu proses berkisar antara
1000-1200 derajat Celsius, yakni suhu di mana silikon dapat
melebur/meleleh/mencair. Silikon yang telah membeku ini akhirnya
dipotong-potong menghasilkan wafer dengan ketebalan sekitar 2 milimeter.
Gambar 5. Skema proses Cz untuk membuat wafer silikon. (kiri)Reaktor
tempat pembuatan wafer slikon, (kanan)Keadaan silikon yang tengat
ditarik oleh batang pengumpan. Perhatikan warna silikon yang berpijar
tanda masih dalam keadaan setengah cair/lelehan.
Gambar 6. Sel surya yang menggunakan bahan dasar silikon monokristal.
Perhatikan warna biru yang homogen pada sel surya tersebut.
2. Wafer silikon jenis polikristal.
Wafer silikon monokristal relatif
jauh lebih sulit dibuat dan lebih mahal. Silikon monokristal inilah yang
digunakan untuk bahan dasar semikonduktor pada mikrochip, prosesor,
transistor, memori dan sebagainya. Keadaannya yang monokristal
(mengandung hanya satu kristal tunggal) membuat silikon monokristal
nyaris tanpa cacat dan sangat baik tingkat hantar listrik dan panasnya.
Sel surya akan bekerja dengan sangat baik dengan tingkat efisiensi yang
tinggi jika menggunakan silikon jenis ini.
Namun demikian, perlu diingat bahwa
isu besar sel surya ialah bagaimana menurunkan harga yang masih jauh
dari jangkauan masyarakat. Penggunaan silikon monokristal jelas akan
melonjakkan harga sel surya yang akhirnya justru kontraprduktif.
Komunitas industri dan peneliti sel surya akhirnya berpaling ke jenis
silikon yang lain yang lebih murah, lebih mudah dibuat, meski agak
sedikit mengorbankan tingkat efisiensinya. Saat ini, baik silikon
monokristal maupun polikristal sama sama banyak digunakan oleh
masyarakat.
Gambar 7. (kiri) Salah satu contoh aktifitas peleburan material (logam,
slikon, dll.) (kanan) Sel surya berbahan baku silikon polikristal.
Perhatikan warna terang gelap pada sel surya yang menandakan kristal
kristal yang berbeda arah dan besarnya.
Pembuatan silikon polikristal pada intinya sama dengan mengecor logam (lihat Gambar di bawah). Semiconductor grade silicon
dimasukkan ke dalam sebuah tungku atau tanur bersuhu tinggi hingga
melebur/meleleh. Leburan silikon ini akhirnya dimasukkan ke dalam
cetakan cor dan selanjutnya dibiarkan membeku. Persis seperti pengecoran
besi, aluminium, tembaga maupun logam lainnya. Silikon yang beku
kemudian dipotong-potong menjadi berukuran 5 x 5 atau 10 x 10 cm persegi
dengan ketebalan kira-kira 2 mm untuk digunakan sebagai sel surya.
Proses pembuatan silikon polikristal dengan cara ini merupakan proses
yang paling banyak dilakukan karena sangat efektif baik dari segi
ekonomis maupun teknis.
Secara umum, proses pembuatan sel surya mulai dari dari silikon dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Perbandingan dengan industri besi dan baja
Sebagai penutup artikel ini, penulis mecoba
membandingkan industri pengolahan silikon dengan industrui besi dan baja
di tanah air. Sebagaimana kita ketahui, industri besi dan baja kita
mengandalkan bahan baku dalam negeri dengan salah satu yang terbesar
ialah PT Krakatau Steel (PT KS). Penulis pernah berkunjung ke PT KS
beberapa tahun lalu dan melihat sendiri fasilitas yang dimilikinya,
termasuk pelabuhan sendiri serta (kalau tidak salah) pembangkit listrik
sendiri atau disuplai dari pembangkt listrik terdekat.
Industri pengolahan silikon hingga siap pakai untuk
sel surya penulis ibaratkan sama dengan industri baja, baik dari segi
kerumitan maupun investasinya. Besi mudah ditemui, diolah bahkan
dijadikan kerajinan. Sudah banyak industri kecil kita yang mampu membuat
sendiri alat alat dari besi maupun baja. Namun demikian, ketika hendak
berbicara mengenai produksi massal yang memanfaatkan besi, maka
pembuatan besi maupun baja sudah melibatkan perhitungan untung rugi
ekonomisnya sejak dari penambangan bijih besi. Untuk dapat mengolah
bijih besi menjadi besi, dibutuhkan invetasi besar; penambangan bijih,
pemisahan bijih, peleburan, pengolahan dan sebagainya seperti apa yang
dilakukan PT. KS.
Sama dengan pengolahan silikon. Bahkan untuk hal
ini, silikon membutuhkan investasi yang lebih besar dari pembuatan besi
dan baja mengingat ada komponen ekstra dalam menjaga kebersihan dan
ongkos energi yang sangat besar berbanding dengan hasil produksi. Betul
bahwa pasir silika banyak terdapat di tanah air, namun demikian, untuk
mengubahnya menjadi barang yang jauh berharga semisal semikonduktor atau
sel surya, sangat mustahil dilakukan oleh perorangan atau industri
kecil-menengah. Hal ini bukan hanya dikarenakan persoalan modal saja,
melainkan secara ilmiah-alamiah, mengubah pasir silika menjadi silikon
saja tidak dapat dilakukan dengan cara sembarangan atau cara yang
disederhanakan.
Bidang ini harusnya diserahkan kepada pemerintah
atau investor asing/besar yang berminat bermain di penyediaan bahan baku
dasar sel surya atau semikonduktor.
Pada dasarnya, pembuatan sel surya
tidak ubahnya pembuatan microchip yang ada di dalam peralatan
elektronika semisal komputer, televisi maupun alat pemutar musik digital
MP3. Banyak teknologi yang dipakai oleh sel surya mengadopsi dan
mengadaptasi teknologi pembuatan microchip karena teknologi microchip
sudah mapan jauh sebelum booming sel surya yang baru muncul belakangan di akhir 1980-an.
Teknologi pembuatan microchip
maupun sel surya sama-sama bersandar pada konsep nanoteknologi. Yakni
sebuah konsep revolusioner dalam merekayasa perilaku dan fungsi sebuah
sistem pada skala molekul atau skala nanometer (berdimensi ukuran
se-per-milyar meter). Sistem yang dimaksud ini dapat berupa
molekul-molekul, ikatan kimia, hingga atom-atom yang menyusun sebuah
produk. Yang direkayasa ialah perilaku atom atau molekul-molekulnya tadi
dengan jalan menyesuaikan kondisi pembuatan atau lingkungan molekul
atau atom yang dimaksud.
Gambar 8. Sebuah gambaran konsep dari Nanoteknologi. Saking kecilnya
produk nanoteknologi, hingga seekor semut pun dapat turut membantu
mengangkat sebuah microchip.
Sebagai contoh nyata yang umum pada dunia akademik
maupun industri mikrochip ialah, kita dapat mengatur di mana sebuah
molekul atau atom tersebut menempel di bagian tertentu pada komponen
microchip atau sel surya, atau “memrintahkan” ia berpindah dari satu
tempat ke tempat lain ketika arus listrik atau temperatur disesuaikan.
Pengaturan atau perekayasaan perilaku molekul atau atom ini sangat
berguna untuk menyesuaikan produk sebuah teknologi untuk keperluan
sehari-hari. Hal ini terlihat jelas jika melihat kegunaan komputer
dewasa ini yang semakin cepat dan poweful justru ketika ukuran
prosesor-nya semakin kecil dan memori yang semakin padat. Atau kita
melihat bagaimana rekayasa molekul dapat menghasilkan tanaman yang
mengasilkan buah dan bibit yang berkualitas lebih unggul.
Gambar 9. Perbesaran dari bagian internal sebuah prosesor komputer/semikonduktor.
Yang kadang terlupakan, nanoteknologi tidak hanya menyentuh persoalan bagaimana membuat, namun juga bagaimana menguji dan mengamatinya, yang
jelas membutuhkan alat yang sama-sama berangkat dari konsep yang sama
dan dimensi ukuran yang sama. Semisal, ketika ingin mengetahui sebuah
produk apakah bagus atau tidak, maka perlu melalui serentetan pengujian
dan analisa yang berujung pada sebuah kesimpulan bagus atau jeleknya
sebuah produk. Jika produknya memiliki ukuran satu helai rambut dibelah
1000, maka alat penguji dan pengamatnya harus mampu menjejak dengan
ketelitian hingga sebesar itu pula.
Perlu penulis tegaskan,
nenoteknologi ini ialah konsep yang sangat mahal, mahal dalam arti kata
sebenarnya. Sangat banyak prasyarat maupun biaya yang harus dipenuhi
sebelum memulai sebuah penelitian dalam skala nanoteknologi, apalagi
untuk membawanya ke arah komersialisasi yang melibatkan investasi yang
tidak sedikit dan kerumitan yang tinggi.
Standar pembuatan sel surya jenis
silikon melalui beberapa proses implantasi (pemasukan) atom-atom lain ke
dalam material silikon yang melibatkan proses kimiawi difusi gas pada
temperatur di atas 800 derajat Celcius. Proses ini apabila tidak teliti
akan mengakibatkan kebocoran dan sangat berbahaya karena mempergunakan
gas yang beracun bagi kesehatan. Alat yang dipergunakan sendiri jelas
harus mampu membangkitkan, mengatur dan mempertahankan proses di dalam
temperatur tinggi tersebut. Pembuatan sel surya sendiri melalui beberapa
tahap proses yang serupa dengan proses implantasi ini dalam temperatur
yang berbeda-beda. Jelas tidak boleh terdapat adanya pengotor semacam
debu yang ditolerir selama proses berlangsunng karena bila ada, maka sel
surya akan gagal total.
Sebenarnya. jika kita melihat alat dan proses yangterlibat dalam pembuatan sel surya secara langsung, maka kesan angker dan sakralnya
proses tersebut akan hilang dengan sendirinya (lihat gambar 10 di bawah
ini). Prosesnya melibatkan otomatisasi dan komputerisasi. Alatnya
sendiri terbungkus rapi di dalam sebuah lemari besi berjendela kaca
sehingga aman ketika dioperasikan. Hanya saja, untuk berinvestasi
membeli, mempergunakan serta merawat alat tersebut, biaya yang
dikeluarkan sangatlah mahal untuk ukuran kita sehingga mustahil bagi
industri kecil apalagi perseorangan untuk membuat sel surya sendiri.
Terlebih dalam menyediakan gas khusus yang dibutuhkan untuk implantasi
atom yang tidak sembarangan dalam penanganannya.
Gambar 10. (Atas) Salah satu alat untuk melakukan
proses difusi atom ke dalam silikon yang mengandalkan plasma. (Bawah)
Tipikal alat pembuatan sel surya yang telah terintegrasi dan
terkompuiterisasi
Kerumitan pembuatan sel surya ada
pada tahap pengecekan efisiensi sel yang baru dibuat. Memeriksa apakah
sel surya itu dapat berfungsi dengan baik dan dengan efisiensi yang baik
membutuhkan peralatan tersendiri dan tidak sembarangan untuk sekedar
dirakit. Peralatan ini mensimulasikan besarnya energi cahaya matahari
dan harus dikalibrasi dengan standar tertentu. Simulasi ini harus mendekati kondisi sebenarnya penyinaran cahaya matahari. Alat yang dperlukan untuk ini ialah solar simulator
yakni alat yang mensimulasikan energi cahaya matahari dan mengukur
respon sel surya terhadap cahaya matahari yang akhirnya menghitung
efisiensi sel surya.

Gambar 11. (kiri) Prinsip kerja sebuah Solar Simulator, (kanan)Solar simulator yang dijual di pasaran.
Untuk meniru energi yang dipancarkan oleh matahari, Solar Simulator ini
dilengkapi dengan lampu yang berisi gas Xenon yang mampu memberikan
kondisi yang nyaris persis sama dengan matahari. Sel surya yang hendak
diukur efisiensinya, diletakkan di bagian yang telah ditentukan. Hasil
akhir dari simulasi ini ialah berapa besar efisiensi dan daya yang mampu
dihasilkan oleh sebuah sel surya. Biasanya pengukuran ini dilakukan
pada tahap paling akhir pembuatan sel surya.
1. Peleburan dan pembuatan wafer silikon
Kalau negara kita mengklaim
memiliki kekayaan alam pasir silika yang dapat diolah menjadi silikon,
maka ini perlu dibuktikan dengan memproduksi sendiri silikon yang
diperlukan. Negara kita cukup mampu dalam mengolah bijih-bijih logam dan
mustinya mampu pula mengolah pasir silika menjadi bijih silikon. Namun,
jika kemampuan finansial maupun teknik bangsa kita masih kalah jauh
dengan negara yang sudah maju dalam pembuatan wafer silikon monokristal
untuk semikonduktor, maka cukuplah membidik pangsa pasar wafer silikon
polikristal untuk sel surya yang level pembuatannya relatif lebih mudah
dilakukan.
Sejatinya, industri wafer silikon
ialah sebuah industri strategis berteknologi tinggi. Posisinya sama
dengan industri dirgantara, kapal laut maupun industri baja. Hal ini
berkaitan dengan peran vital silikon dalam industri elektronik. Tidak
ada industri elektronik manapun yang tidak membutuhkan silikon. Bila
sebuah gedung dapat berdiri tegak karena memanfaatkan baja dan pesawat
dapat terbang karena menggunakan aluminium, maka komputer dan alat
elektronika lain dapat berfungsi karena adanya wafer silikon ini.
Apabila negara kita dapat memiliki
industrri strategis di bidang ini, maka kontribusi Indonesia terhadap
industri dunia menjadi sangat siginifikan. Sebagai contoh terdekat
dengan penulis saat ini, Korea Selatan saat ini menjadi pemimpin dalam
bidang memori RAM komputer dengan merek Samsung maupun Hynix. Meski
demikian, merka tetap bersikeras membuat wafer silikon sendiri demi
mengurangi ketergantungan industri memorinya dari wafer silikon buatan
luar. Efek positif dari pembuatan wafer sendiri ialah tingkat kecepatan
suplai bahan baku wafer serta meningkatnya sisi konpetitif dan ekonomis
dari memori buatan Korea di pasar dunia.
2. Impor mesin-mesin pembuatan sel surya.
Langkah China dalam memasarkan sel
surya di negaranya maupun di pasaran dunia cukup menarik untuk
dicermati. Industri-industri China tidak membuat material dasar wafer
silikon untuk sel surya karena mereka tahu investasinya akan sangat
besar. Mereka juga tidak memiliki kemampuan dalam membuat mesin-mesin
yang dipergunakan pabrik-pabrik mereka untuk membuat sel surya dalam
skala besar.
Hanya saja, strategi mereka ialah,
mengimpor mesin-mesin pabrik dari Jerman sebagai bahagian dari
investasi, serta mengimpor material silikon khusus untuk sel surya dari
negaa-negara lain semisal, Jerman, Jepang dan Korea Selatan. Keunggulan
komparatif upah pekerja yang murah, membuat sel-sel surya made in China
saat ini bersaing di pasaran sel surya Eropa selain menjadi tuan rumah
di negara sendiri tentunya. Hal ini penulis saksikan sendiri dalam ajang
pameran dan konferensi ilmiah sel surya tahun 2005 di Shanghai, China.
Mungkin strategi ini dalam jangka pendek bisa diterapkan di Indonesia.
3. Industri assembly.
Kerumitan pembuatan sel surya tidak
terlalu ditemui pada proses enkapsulasi sel surya menjadi sebuah modul
surya. Sebagai informasi, sel surya sendiri berukuran sekitar 5 x 5 atau
10 x 10 cm persegi. Sel sebesar ini hanya dapat mengkonversi cahaya
matahari menjadi listrik berdaya sekitar 1 – 2 Watt saja. Untuk dapat
digunakan secara praktis, seitar 30 hingga 50 buah sel surya ini
dirangkaikan satu sama lain agar menghasilkan daya keluaran sekitar 50
hingga 75 Watt. Rangkaian sel surya ini disebut dengan modul surya
dan modul surya-lah yang sebenarnya dijual dipasaran yang terdiri atas
sekian buah sel surya Dengan menata seberapa besar kebutuhan
listrik, maka tinggal dihitung saja berapa banyak modul surya yang
perlu dibeli, kemudian digabung dan dirangkaikan kembali agar
menghasilkan daya keluaran sesuai dengan kebutuhan listrik rumah tangga
misalnya. Rangkaian modul surya ini disebut dengan panel surya.
Gambar 12. Contoh modul sel surya yang dipasarkan. Perhatikan adanya sel
surya di dalam modul yang telah dirangkai dan dienkapsulasi menjadi satu
susunan besar modul surya.
4. Pembuatan komponen pelengkap sel surya.
Hal terakhir yang mungkin penulis sarankan ialah menekuni pembuatan komponen sel surya (disebut dengan balance of system
lihat Gambar 12), semacam inverter DC ke AC, kabel-kabel, aki atau
baterei, beberapa kontroler yang penulis yakin sudah cukup dikuasai
industri elektronika di Indonesia. Jelas keuntungan produk Indonesia
yang relatif murah mustinya dapat merajai pasar komponen untuk sel surya
di tanah air. Sebagai tambahan, mungkin desain perumahan atau gedung
yang siap merespon pemakaian sel surya di Indonesia dapat menjadi lahan
bagus buat para arsitek.
Gambar 13. Komponen-komponen pelengkap sel surya agar dapat bekerja (Balance of System)
Antara Ilmu dan Investasi
Akhirul kalam,
dengan menurunkan artikel ini, penulis agak khawatir telah menutup
semangat dan cita-cita beberapa pengunjung Blog peminat sel surya yang
berniat untuk mengusahakan sel surya sendiri, atau beberapa pihak yang
telah melihat potensi alam Indonesia yang kaya pasir silika akan surut
langkahnya untuk melirik energi alternatif lain di masa depan. Tidak
kurang dari profesional, masyarakat awam hingga anggota direksi sebuah
BUMN sempat menanyakan kemungkinan membuat sel surya sendiri.
Namun penulis berpegang bahwa
itulah manfaat ilmu, yakni mengkaji dan meluruskan serta memberikan
sebuah rekomendasi sebagai respon atas pandangan umum di tengah-tengah
masyarakat mengenai sebuah produk teknologi, dalam hal ini sel surya.
Sel surya sebagai produk teknologi tidak lepas dari peran investasi
sebagai konsekuensi logis dari visi produksi massal sel surya guna
mengatasi tantangan energi di masa depan. Tanpa investasi baik dalam
tataran penelitian, pengembangan maupun produksi, hasil teknologi tidak
dapat dinikmati oleh masyarakat luas melainkan teronggok di dalam lemari
perpustakaan atau sekedar bahan laporan akhir atau sekedar karya ilmiah
kecil.
Sebagai penutup, penulis menegaskan
bahwa negara kita apalagi kita perseorangan, tidak mungkin alias
mustahil membuat sel surya sendiri meski dengan menggunakan bahan-bahan
alam dari bumi pertiwi tanpa investasi besar dan langkah yang serius. Mungkin pemerintah perlu segera membuat langkah nyata
agar investor antuisias menanamkan modal untuk mengolah potensi silikon
serta membangun iklim penelitian dan investasi di area sel surya yang
kondusif. Dengan catatan, pemerintah musti sudah bervisi ke depan mempersiapkan konsep energi yang berkelanjutan, bersih dan murah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar